Hai para pengguna blog, kali ini saya akan mengungkap sedikit hal tentang
kondisi Indonesia saat masa liberal, baik kondisi ekonomi, sosail, budaya,
politik, maupun permasalahan-permasalahan yang muncul pada masa liberal.
1. Kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951)
Ditinjau dari beberapa faktor, dibawah ini akan dibahas mengenai kondisi
sosial dan budaya pada masa Kabinet Natsir :
- Pendidikan.
Pada tahun 1950, menteri pendidikan pada masa itu, Dr. Abu Hannifah,
menyusun konsep pendidikan yang menitikberatkan pada spesialisasi. Yaitu
akan diadakan pendidikan umum dan pendidikan teknik yang dalam
pelaksanaannya memiliki perbandingan 3 : 1. Selain itu, karena Indonesia
adalah negara kepulauan, maka di beberapa kota diadakan Akademik
Pelayaran, Akademik Oseanografi, dan Akademik Research Laut yang didirikan
di kota Surabaya, Makassar, Ambon, Manado, Padang, dan Palembang. Lalu,
didirikan juga Sekolah Tinggi Pertanian Bogor.
- Seni.
Pada tanggal 27 Agustus 1950 di Surakarta, didirikan Konservatori
Karawitan dengan tujuan untuk mempertinggi serta mengembangkan
karawitan.
2. Kabinet Sukiman (26 April 1951-23 Februari 1952)
Dibawah ini akan disebutkan mengenai dampak positif dan negatif pada saat
masa pemerintahan Kabinet Sukiman.
Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:
1. Menjamin keamanan dan ketentraman
2. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
3. Mempercepat persiapan pemilihan umum.
4. Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.5. Di bidang hukum, menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama,penetapan upah minimum,dan penyelesaian pertikaian buruh.
1. Menjamin keamanan dan ketentraman
2. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
3. Mempercepat persiapan pemilihan umum.
4. Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.5. Di bidang hukum, menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama,penetapan upah minimum,dan penyelesaian pertikaian buruh.
- Dampak Positif Kabinet Sukiman :
Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjtkan program Natsir hanya saja
terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya
program Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan
untuk menjamin keamanan dan ketentraman
- Dampak Negatif Kabinet Sukiman :
- Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar
Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle
Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah
Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA).
Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI
karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika. Tindakan
Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia
yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah
memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
- Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang
terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang
mewah.
- Masalah Irian barat belum juga teratasi.
- Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang
tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Sulawesi Selatan.
Menganalisis peristiwa Tanjung Morawa pada masa
Kabinet Wilopo.
Peristiwa Tanjung Morawa adalah salah satu peristiwa berdarah yang cukup
terkenal di Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Maret 1953. Peristiwa
ini menjadi salah satu penyebab runtuhnya Kabinet Wilopo. Peristiwa Tanjung Morawa terjadi disebabkan pula oleh
adanya ketidakpuasan petani yang hendak dipindahkan ketempat yang lain oleh
pemerintah dalam hal ini oleh Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim, karena
proses dan hasil yang diperoleh sangat jauh berbeda dengan tanah yang telah
mereka tempati sebelumnya. Akibatnya ketidakpuasan ini mengarah pada aksi
demonstrasi untuk menggagalkan pentraktoran. Peristiwa Tanjung Morawa mendapat
reaksi baik dari pemerintah pusat, pihak oposisi, maupun masyarakat. Karena
peristiwa itulah golongan yang anti kabinet, termasuk tokoh-tokoh penganjur
persatuan dari PNI, mencela tindakan pemerintah. Akibatnya Sidik Kertapati dari
SAKTI (Sarekat Tani Indonesia) yang berhaluan kiri mengajukan mosi tidak
percaya kepada cabinet dan sebelum mosi diputuskan, kabinet Wilopo
mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 2 Juni 1953.
Pada tahun 1953 Pemerintah RI Karesidenan Sumatra
Utara merencanakan untuk mencetak sawah percontohan di
bekas areal perkebunan tembakau di desa Perdamaian, Tanjung Morawa. Akan
tetapi areal perkebunan itu sudah ditempati oleh penggarap liar. Di antara
mereka terdapat beberapa imigran gelap Cina.
Usaha pemerintah untuk memindahkan para penggarap dengan memberi
ganti rugi dan menyediakan lahan pertanian, dihalang-halangi oleh Barisan
Tani Indonesia(BTI), organisasi massa PKI. Oleh karena cara musyawarah
gagal, maka pada tanggal 16 Maret 1953 pemerintah terpaksa mentraktor areal
tersebut dengan dikawal oleh sepasukan polisi. Untuk menggagalkan usaha
pentraktoran, BTI mengerahkan massa yang sudah mereka pengaruhi dari berbagai
tempat di sekitar Tanjung Morawa. Mereka bertindakbrutal. Polisi melepaskan
tembakan peringatan ke atas, tetapi tidak dihiraukan, bahkan mereka berusaha
merebut senjata polisi. Dalam suasana kacau, jatuh korban meninggal dan luka-luka.
4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953-24 Juli 1955)
Mengapa ada koalisi antara PNI dan NU? Dan jelaskan
mengenai Oposisi Masyumi!
Berikut akan membahas mengenai koalisi PNI dan NU
serta penjelasan mengenai oposisi Masyumi.
Adanya koalisi ini menyebabakan kemunduran Kabinet Ali
Sastroamidjojo.
Pada masa itu, banyak
sekali terutama masalah seperti pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah.
Selain itu, masalah korupsi yang semakin meningkat dan kemunduran ekonomi
sehingga menurunkan tingkat kepercayaan dari masyarakat juga semakin
memperkeruh keadaan. Berbagai masalah lainnya juga menjadi alasan utama,
seperti masalah Irian Barat, Pemilu bahkan juga skandal korupsi di tubuh PNI
sendiri juga menjadi alasan utama.
NU, tidak puas
terhadap kinerja kabinet di segala lini, baik secara personel, di bidang
ekonomi dan keamanan yang didalamnya terdapat konflik antara NU dan PNI.
Sehingga pada puncaknya pada tanggal 20 Juli NU mengutus para menteri yang ada
di dalam kabinet untuk mengundurkan diri dan keluar dari Kabinet. Tindakan NU
ini kemudian diikuti oleh parta-partai lainnya. Keadaan lemahnya Kabinet Ali
Sastroamijoyo I ini kemudian mendorong Masyumi untuk menggulirkan mosi tidak
percaya pada bulan Desember mengenai ketidakpercayaan pada kebijakan
Pemerintah. Melihat keadaan kabinet yang tak kondusif ini, PKI kemudian meredam
kecaman-kecaman terhadap korupsi dan masalah ekonomi sebagai imbalan atas
perlindungan PNI. Ali Sastroamijoyo sendiri kemudian mengembalikan mandatnya
pada tanggal 18 Juni. Kemudian karena dukungan dari DPR tidak mencukupi, empat
hari kemudian Ali pun mengunfurkan diri dan Kabinet Ali Sastroamijoyo I ini
mengembalikan mandatnya pada tanggal 24 Juli 1955.
5. Kabinet Burhanudin Haarahap (12 Agustus 1955-3
Maret 1956)
Berikut akan dibahas mengenai kondisi rakyat saat
pertama kali diadakan Pemilu.
Pada awal pemilu, 1955 ini dilaksanakan saat
keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh
DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo.
Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih.
Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu
berlangsung aman meskipun ada kendala yang dihadapi. Namun, pada awal Pemilu,
rakyat benar-benar menggunakan hak pilihnya secara maksimal dan tetap berpegang
teguh pada landasan Pemilu yang Luber dan Jurdil (Langsung, Umum, Bebas,
Rahasia, Jujur, dan Adil).
6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956-14 Maret 1957)
Membahas mengenai gerakaan Assaat (Etnis Tionghoa)
Gerakan Assaat adalah sebuah program ekonomi
pemerintah Indonesia tahun 1950an yang dilakukan untuk meningkatkan
produktivitas pengusaha pribumi. Gerakan Assaat memberikan perlindungan khusus
bagi warga negara Indonesia Asli dalam segala aktivitas usaha di bidang
perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing pada umumnya dan warga
keturuan Cina pada khususnya.
Dukungan dari pemerintah terhadap gerakan ini terlihat
dari pernyataan yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober 1956 bahwa pemerintah
akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha pribumi. Ternyata kebijakan
pemerintah ini memunculkan reaksi negatif yaitu muncul golongan yang membenci
kalangan Cina. Bahkan reaksi ini sampai menimbulkan permusuhan dan pengrusakan
terhadap toko-toko dan harta benda milik masyarakat Cina serta munculnya
perkelahian antara masyarakat Cina dan masyarakat pribumi.
Persoalan yang dibahas adalah tentang kekhawatiran
masyarakat Indonesia akan dominasi orang-orang Cina dalam perekonomian
Indonesia. Keadaan ini kemudian mengilhami para pengusaha Indonesia untuk
mencari jalan pemecahan bagi kesenjangan ekonomi yang ada, karena
langkah-langkah yang telah diambil oleh Pemerintah belum mencapai hasil
sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu maka dibentuk suatu organisasi
sebagai wadah perjuangannya atau Badan Perjuangan KENSI. yang
kemudian terkenal sebagai Gerakaan Assaat, yang diambil dari nama Mr.
Assaat (Presiden RI pada masa RIS) sebagai orang yang dinilai sangat
bersimpati terhadap penderitaan bangsanya. Sebenarnya yang dipersoalkan
oleh gerakan ini tidak hanya masalah ekonomi, tetapi juga tentang sikap
hidup golongan Cina dalam masyarakat Indonesia yang cenderung eksklusif
dan tidak memiliki rasa nasionalis Indonesia. Kesimpulan dari skripsi ini
adalah bahwa walaupun Gerakan Assaat menyebabkan kekerasan terhadap golongan
Cina, tetapisebenarnya Gerakan Assaat bukanlah Gerakan Rasdiskriminasi
sebagamana dituduhkan oleh golongan CIna, karena sebenarnya yang dikehendaki
oleh gerakan ini bukanlah kekerasan, tetapi keseimbangan ekonomi dan rasa
kesetiakawanan sosial yang tinggi dari golongan Cina terhadap bangsa Indonesia.
Semua itu hanyalah merupakan ungkapan emosional masyarakat pribumi
terhadap suatu golongan yang selama ini telah dinilai kurang mampu
membaurkan diri dan mengancam eksistensinya, khususnya dalam
dunia ekonomi.
7. Kabinet Djuanda/Karya (9 April 1957-5 Juli 1959)
Pada permasalahan Kabinet Djuanda ini, akan dibahas
mengenai mengapa adanya Deklarasi Djuanda yang ada keterkaitannya dengan
teritorial, dan akan membahas mengenai munculnya PRRI dan Permesta.
Deklarasi Djuanda diadakan untuk menyatakan bahwa
Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State)
yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga
laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan
bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960
tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda
2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan
pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tetapi waktu itu belum
diakui secara internasional.
Awal Pemberontakan
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan PERMESTA sebenarnya
sudah muncul pada saat menjelang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS)
pada tahun 1949 dan pada saat bersamaan Divisi Banteng diciutkan sehingga
menjadi kecil dan hanya menyisakan satu brigade. Brigade ini pun akhirnya
diperkecil lagi menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Hal ini memunculkan
perasaan kecewa dan terhina pada para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng
yang telah berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya bagi kemerdekaan Indonesia.
Pada saat itu juga, terjadi ketidakpuasan dari beberapa daerah yang berada di
wilayah Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan yang diberikan
oleh pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah dengan tingkat kesejahteraan
prajurit dan masyarakat yang sangat rendah.
Ketidakpuasan
tersebut akhirnya memicu terbentuknya dewan militer daerah yaitu Dewan Banteng
yang berada di daerah Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956. Dewan ini
diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng)
bersama dengan ratusan perwira aktif dan para pensiunan yang berasal dari
Komando Divisi IX Banteng yang telah dibubarkan tersebut. Letnan Kolonel Ahmad
Husein yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB
diangkat menjadi ketua Dewan Banteng. Kegiatan ini diketahui oleh KASAD dan
karena Dewan Banteng ini bertendensi politik, maka KASAD melarang perwira‑perwira
AD untuk ikut dalam dewan tersebut. Akibat larangan tersebut, Dewan Banteng
justru memberikan tanggapan dengan mengambil alih pemerintahan Sumatera Tengah
dari Gubernur Ruslan Muloharjo, dengan alasan Ruslan Muloharjo tidak mampu
melaksanakan pembangunan secara maksimal.
Selain Dewan Banteng
yang bertempat di daerah Sumatra Barat, di Medan terdapat juga Dewan Gajah yang
dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I, pada
tanggal 22 Desember 1956. Dan juga di Sumatra Selatan terbentuknya Dewan Garuda
yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
Selain itu
pemberontakan ini juga disebabkan karena ada pengaruh dari PKI terhadap
pemerintah pusat dan hal ini menimbulkan terjadinya kekecewaan pada daerah
tertentu. Keadaan tersebut diperparah dengan pelanggaran konstitusi yang
dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berada di dalam pemerintah pusat, tidak terkecuali
Presiden Soekarno.
Selanjutnya, PRRI
membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda. Dewan Perjuangan
PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini terjadi
pada saat Presiden Soekarno sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo,
Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958, Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang
mengeluarkan pernyataan berupa “Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan
yang ditujukan kepada Presiden Soekarno supaya “bersedia kembali kepada
kedudukan yang konstitusional, menghapus segala akibat dan tindakan yang
melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan
perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara lain :
- Mendesak kabinet Djuanda supaya
mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
- Mendesak pejabat presiden, Mr.
Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut Zaken Kabinet Nasional
yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).
- Mendesak kabinet baru tersebut
diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga pemilihan umum yang akan
datang.
- Mendesak Presiden Soekarno
membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi.
- Jika tuntutan tersebut di atas
tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka Dewan Perjuangan akan mengambil
kebijakan sendiri.
Setelah tuntutannya
di tolak, PRRI membentuk sebuah Pemerintahan dengan anggota kabinetnya. Pada
saat pembangunan Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI memperoleh dukungan dari
PERMESTA dan rakyat setempat.
Pada tanggal 2 Maret
1957, di Makasar yang berada di wilayah timur Negara Indonesia terjadi sebuah
acara proklamasi Piagam Perjuangan Republik Indonesia (PERMESTA) yang
diproklamasikan oleh Panglima TT VII, Letkol Ventje Sumual. Pada hari
berikutnya, PERMESTA mendukung kelompok PRRI dan pada akhirnya kedua kelompok
itu bersatu sehingga gerakan kedua kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA.
Tokoh-tokoh PERMESTA terdiri dari beberapa pasukan militer yang diantaranya
adalah Letnan Kolonel D.J Samba, Letnan Kolonel Vantje Sumual, Letnan Kolonel
saleh Lahade, Mayor Runturambi, dan Mayor Gerungan.
Oke, sekian tentang
penjelasan-penjelasan kondisi Indonesia di masa liberal dari saya. See you guys
on the next post!
0 komentar:
Posting Komentar