Senin, 30 Oktober 2017

KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK MENGATASI PERMASALAHAN EKONOMI DEMOKRASI LIBERAL


  1.        Hubungan Ekonomi Masa Sumitro Djojohadikusumo dan Masa Kini.


Sumitro-Djojohadikusumo-400x267.jpg

Pada tahun 1950-an, ada tekanan politis yang meningkat agar kekuasaan ekonomi diambil dari perusahaan swasta Belanda yang masih ada di Indonesia saat itu, demi penyelesaian Revolusi. Namun, Indonesia masih memerlukan modal dan keterampilan asing untuk menghasilkan pembangunan ekonomi yang diperlukan untuk menghadapi peningkatan jumlah penduduk. Bulan Februari 1950, presiden Soekarno sudah sempat menyampaikan kepada kalangan perusahaan asing bahwa pemulihan ekonomi Indonesia setelah selesainya Revolusi memerlukan dikerahkannya segala sumber modal, baik asing maupun dalam negeri. Tahun 1953 menteri Keuangan Ong Eng Die menyatakan bahwa peranan perusahaan asing dalam pembangunan ekonomi Indonesia perlu dicantumkan secara jelas dalam rencana pembangunan mendatang. Program Benteng merupakan suatu cara mengembangkan peranan orang Indonesia dalam ekonomi tanpa merugikan perusahaan asing, terutama Belanda.
Namun, dalam pelaksanaannya pada mulanya yang ditekankan adalah barang mana yang wajib diimpor oleh pengusaha pribumi. Kemudian, yang dibicarakan adalah persyaratan mengenai kelayakan memperoleh lisensi impor. Tahun 1950 sudah sempat ditentukan bahwa paling tidak 70% dari pemegangan saham perusahaan harus dimiliki "bangsa Indonesia asli". Bulan Mei dan Juni 1953, debat mengenai penaikan persentase ini, termasuk tuduhan diskriminasi terhadap importir Tionghoa, berakibatkan jatuhnya Kabinet Wilopo.
Sama pula hubungannya dengan ekonomi Indonesia saat ini. Pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan peningkatan di bidang ekonomi dengan mengutamakan pembangunan usaha-usaha yang dikelola anak negeri atau rakyat pribumi sendiri. Tapi nyatanya, perusahaan asing makin luas berkembang di Indonesia.

2.      Perbedaan Sistem Gunting dan Sistem Redenominasi
Pembeda
Sistem Gunting (Sanering)
Sistem Redenominasi
Tujuan
Mengurangi jumlah uang yang beredar akibat lonjakan harga.

·    Menyederhanakan jumlah pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam melakukan transaksi.
·    Mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan Negara regional.
Latar Belakang
Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk—utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung. 
Inflasi dalam periode panjang yang mengakibatkan nominal mata uang jadi sangat besar.
Bentuk
Bentuknya adalaah sebagai contohnya dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal tertentu sesuai ketetapan, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi. Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar tiga puluh tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. "Gunting Sjafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia).
Penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Misalnya Rp100.000,00 menjadi Rp100,00 namun nilai tukar dengan mata uang lain tetap sama.

3.      Nasionalisasi De Javasche Bank
COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Kantoor_van_de_Javasche_Bank_in_Batavia_TMnr_60047649.jpg

            Maksud dan tujuan nasionalisasi ini adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis. Tujuan nasionalisasi yang lain adalah untuk memulihkan perekonomian bangsa Indonesai pasca gangguan dari Benda, selain itu Pemerintah juga menganggap Belanda menyalahi aturan sehingga Indonesia harus mengambil ketegasan.

4.      Perbandingan Repelita dengan Masa Kini
REPELITA
·         Repelita I (1969 – 1974) bertujuan memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian. 
·         Repelita II (1974 – 1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali dan Madura, di antaranya melalui transmigrasi. 
·         Repelita III (1979 – 1984) menekankan bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor. 
·         Repelita IV (1984 – 1989) bertujuan menciptakan lapangan kerja baru dan industri. 
·         Repelita V (1989 – 1994) menekankan bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan. 
Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua ini bersifat indikatif, artinya memberikan arah perkembangan umum yang hendak dicapai selama lima tahun yang akan datang beserta skala prioritasnya. Secara umum juga diberikan suatu gam- ­baran mengenai laju pertumbuhan ekonomi yang diharapkan serta perobahan struktur ekonomi selama lima tahun yang akan datang, jumlah dana yang dibutuhkan beserta sumber- sumber potensiil daripada dana tersebut, perkembangan ke­sempatan kerja, dan alokasi anggaran pembangunan negara sesuai dengan skala prioritas yang telah digariskan. Rencana ini juga untuk sebagian besar mencakup rencana pembangunan di sektor pemerintah. 
KABINET KERJA
Dalam Kabinet Kerja Jokowi ada 10 hal yang menjadi prioritas nasional :
·         Pendidikan
·         Kesehatan
·         Perumahan dan permukiman
·         Pengembangan dunia usaha dan pariwisata
·         Ketahanan energi
·         Ketahanan pangan
·         Penanggulangan kemiskinan
·         Infrastruktur
·         Konektivitas, dan kemaritiman
·         Pembangunan wilayah serta politik, hukum, pertahanan dan keamanan.
Keduanya sama-sama bertujuan untuk pembangunan pemerintah. Namun untuk masa Kabinet Kerja ini lebih pada pengembangan dari Repelita.

5.      Sistem Alibaba
Letak kegagalan Alibaba berada pada tidak tercapainya tujuan dari sistem ini sendiri. Sistem ekonomi ini lebih menekankan pada kebijakan indonesianisasi yang mendorog tumbuh berkembangnya pengusaha-pengusaha swasta nasional pribumi. Pelaksanaan sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha pribumi akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha Tionghoa untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.
Kegagalan sistem ini disebabkan karena :
·         Jatuh disebabkan adanya persoalan dalam TNI-AD, yakni soal pimpinan TNI-AD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan TNI-AD. 
·         Persaingan ideologi juga tampak dalam tubuh konstituante.Pada saat itu negara dalam keadaan kacau disebabkan oleh pergolakan di daerah. 
·         Persaingan antara kelompok agama dan nasionalis yang berlangsung sampai awal tahun 1960-an mengakibatkan keadaan politik nasional tidak stabil.Hal tersebut sangat mengganggu jalannya pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. 
·         Ingin menyatukan pengusaha pribmi & tionghoa,tapi gagal karena pengusaha pribumi lebih konsumftif dibandingkan dengan pengusaha tionghoa yang menghasilkan.Menjadi ladang korupsi dan kolusi 
·         Orang-orang pribumi yang terlatih dan berpengalaman terlalu sedikit 
·         Kaum pribumi tidak memiliki modal kuat dan nyaris tidak mungkin untuk bersaing
Alasan mengapa saat ini masih banyak sentiment antitionghoa ada kaitannya dengan sistem ekonomi Alibaba ini. Kebanyakan masyarakat pribumi kini masih digerakkan oleh masyarakat tionghoa karena banyaknya perusahaan yang dipegang dan dikendalikan oleh masyarakat mereka. Banyak juga diskriminasi politik ekonomi antara rakyat pribumi dan tionghoa.

6.      Tujuan RPLT
·         Repelita I (1969 – 1974) bertujuan memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian. 
·         Repelita II (1974 – 1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali dan Madura, di antaranya melalui transmigrasi. 
·         Repelita III (1979 – 1984) menekankan bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor. 
·         Repelita IV (1984 – 1989) bertujuan menciptakan lapangan kerja baru dan industri. 
·         Repelita V (1989 – 1994) menekankan bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan. 

Senin, 02 Oktober 2017

Kondisi Sosial Politik pada Masa Demokrasi Liberal



Hai para pengguna blog, kali ini saya akan mengungkap sedikit hal tentang kondisi Indonesia saat masa liberal, baik kondisi ekonomi, sosail, budaya, politik, maupun permasalahan-permasalahan yang muncul pada masa liberal.

1. Kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951)



Ditinjau dari beberapa faktor, dibawah ini akan dibahas mengenai kondisi sosial dan budaya pada masa Kabinet Natsir :

  • Pendidikan. Pada tahun 1950, menteri pendidikan pada masa itu, Dr. Abu Hannifah, menyusun konsep pendidikan yang menitikberatkan pada spesialisasi. Yaitu akan diadakan pendidikan umum dan pendidikan teknik yang dalam pelaksanaannya memiliki perbandingan 3 : 1. Selain itu, karena Indonesia adalah negara kepulauan, maka di beberapa kota diadakan Akademik Pelayaran, Akademik Oseanografi, dan Akademik Research Laut yang didirikan di kota Surabaya, Makassar, Ambon, Manado, Padang, dan Palembang. Lalu, didirikan juga Sekolah Tinggi Pertanian Bogor.
  • Seni. Pada tanggal 27 Agustus 1950 di Surakarta, didirikan Konservatori Karawitan dengan tujuan untuk mempertinggi serta mengembangkan karawitan. 
2. Kabinet Sukiman (26 April 1951-23 Februari 1952)


Dibawah ini akan disebutkan mengenai dampak positif dan negatif pada saat masa pemerintahan Kabinet Sukiman.
Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:
1.      Menjamin keamanan dan ketentraman
2.     Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
3.      Mempercepat persiapan pemilihan umum.
4.      Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.5. Di bidang hukum, menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama,penetapan upah minimum,dan penyelesaian pertikaian buruh.

- Dampak Positif Kabinet Sukiman :
Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjtkan program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman

- Dampak Negatif Kabinet Sukiman :

  • Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika. Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
  • Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
  • Masalah Irian barat belum juga teratasi.
  • Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.

3. Kabinet Wilopo (30 Maret 1952-2 Juni 1953)


Menganalisis peristiwa Tanjung Morawa pada masa Kabinet Wilopo.

Peristiwa Tanjung Morawa adalah salah satu peristiwa berdarah yang cukup terkenal di Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Maret 1953. Peristiwa ini menjadi salah satu penyebab runtuhnya Kabinet Wilopo. Peristiwa Tanjung Morawa terjadi disebabkan pula oleh adanya ketidakpuasan petani yang hendak dipindahkan ketempat yang lain oleh pemerintah dalam hal ini oleh Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim, karena proses dan hasil yang diperoleh sangat jauh berbeda dengan tanah yang telah mereka tempati sebelumnya. Akibatnya ketidakpuasan ini mengarah pada aksi demonstrasi untuk menggagalkan pentraktoran. Peristiwa Tanjung Morawa mendapat reaksi baik dari pemerintah pusat, pihak oposisi, maupun masyarakat. Karena peristiwa itulah golongan yang anti kabinet, termasuk tokoh-tokoh penganjur persatuan dari PNI, mencela tindakan pemerintah. Akibatnya Sidik Kertapati dari SAKTI (Sarekat Tani Indonesia) yang berhaluan kiri mengajukan mosi tidak percaya kepada cabinet dan sebelum mosi diputuskan, kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 2 Juni 1953.
Pada tahun 1953 Pemerintah RI Karesidenan Sumatra Utara merencanakan untuk mencetak sawah  percontohan di bekas areal perkebunan tembakau di desa Perdamaian, Tanjung Morawa. Akan tetapi areal perkebunan itu sudah ditempati oleh penggarap liar. Di antara mereka terdapat beberapa imigran gelap Cina. Usaha pemerintah untuk memindahkan para penggarap dengan memberi ganti rugi dan menyediakan lahan pertanian, dihalang-halangi oleh Barisan Tani Indonesia(BTI), organisasi massa PKI. Oleh karena cara musyawarah gagal, maka pada tanggal 16 Maret 1953 pemerintah terpaksa mentraktor areal tersebut dengan dikawal oleh sepasukan polisi. Untuk menggagalkan usaha pentraktoran, BTI mengerahkan massa yang sudah mereka pengaruhi dari berbagai tempat di sekitar Tanjung Morawa. Mereka bertindakbrutal. Polisi melepaskan tembakan peringatan ke atas, tetapi tidak dihiraukan, bahkan mereka berusaha merebut senjata polisi. Dalam suasana kacau, jatuh korban meninggal dan luka-luka.

4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953-24 Juli 1955)

Mengapa ada koalisi antara PNI dan NU? Dan jelaskan mengenai Oposisi Masyumi!
Berikut akan membahas mengenai koalisi PNI dan NU serta penjelasan mengenai oposisi Masyumi.
Adanya koalisi ini menyebabakan kemunduran Kabinet Ali Sastroamidjojo.

Pada masa itu, banyak sekali terutama masalah seperti pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah. Selain itu, masalah korupsi yang semakin meningkat dan kemunduran ekonomi sehingga menurunkan tingkat kepercayaan dari masyarakat juga semakin memperkeruh keadaan. Berbagai masalah lainnya juga menjadi alasan utama, seperti masalah Irian Barat, Pemilu bahkan juga skandal korupsi di tubuh PNI sendiri juga menjadi alasan utama.

NU, tidak puas terhadap kinerja kabinet di segala lini, baik secara personel, di bidang ekonomi dan keamanan yang didalamnya terdapat konflik antara NU dan PNI. Sehingga pada puncaknya pada tanggal 20 Juli NU mengutus para menteri yang ada di dalam kabinet untuk mengundurkan diri dan keluar dari Kabinet. Tindakan NU ini kemudian diikuti oleh parta-partai lainnya. Keadaan lemahnya Kabinet Ali Sastroamijoyo I ini kemudian mendorong Masyumi untuk menggulirkan mosi tidak percaya pada bulan Desember mengenai ketidakpercayaan pada kebijakan Pemerintah. Melihat keadaan kabinet yang tak kondusif ini, PKI kemudian meredam kecaman-kecaman terhadap korupsi dan masalah ekonomi sebagai imbalan atas perlindungan PNI. Ali Sastroamijoyo sendiri kemudian mengembalikan mandatnya pada tanggal 18 Juni. Kemudian karena dukungan dari DPR tidak mencukupi, empat hari kemudian Ali pun mengunfurkan diri dan Kabinet Ali Sastroamijoyo I ini mengembalikan mandatnya pada tanggal 24 Juli 1955.

5. Kabinet Burhanudin Haarahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956)

Berikut akan dibahas mengenai kondisi rakyat saat pertama kali diadakan Pemilu.


Pada awal pemilu, 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu berlangsung aman meskipun ada kendala yang dihadapi. Namun, pada awal Pemilu, rakyat benar-benar menggunakan hak pilihnya secara maksimal dan tetap berpegang teguh pada landasan Pemilu yang Luber dan Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil). 

6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956-14 Maret 1957)



Membahas mengenai gerakaan Assaat (Etnis Tionghoa)
Gerakan Assaat adalah sebuah program ekonomi pemerintah Indonesia tahun 1950an yang dilakukan untuk meningkatkan produktivitas pengusaha pribumi. Gerakan Assaat memberikan perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia Asli dalam segala aktivitas usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing pada umumnya dan warga keturuan Cina pada khususnya.


Dukungan dari pemerintah terhadap gerakan ini terlihat dari pernyataan yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober 1956 bahwa pemerintah akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha pribumi. Ternyata kebijakan pemerintah ini memunculkan reaksi negatif yaitu muncul golongan yang membenci kalangan Cina. Bahkan reaksi ini sampai menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan masyarakat pribumi.
Persoalan yang dibahas adalah tentang kekhawatiran masyarakat Indonesia akan dominasi orang-orang Cina dalam perekonomian Indonesia. Keadaan ini kemudian mengilhami para pengusaha Indonesia untuk mencari jalan pemecahan bagi kesenjangan ekonomi yang ada, karena langkah-langkah yang telah diambil oleh Pemerintah belum mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu maka dibentuk suatu organisasi sebagai wadah perjuangannya atau Badan Perjuangan KENSI. yang kemudian terkenal sebagai Gerakaan Assaat, yang diambil dari nama Mr. Assaat (Presiden RI pada masa RIS) sebagai orang yang dinilai sangat bersimpati terhadap penderitaan bangsanya. Sebenarnya yang dipersoalkan oleh gerakan ini tidak hanya masalah ekonomi, tetapi juga tentang sikap hidup golongan Cina dalam masyarakat Indonesia yang cenderung eksklusif dan tidak memiliki rasa nasionalis Indonesia. Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa walaupun Gerakan Assaat menyebabkan kekerasan terhadap golongan Cina, tetapisebenarnya Gerakan Assaat bukanlah Gerakan Rasdiskriminasi sebagamana dituduhkan oleh golongan CIna, karena sebenarnya yang dikehendaki oleh gerakan ini bukanlah kekerasan, tetapi keseimbangan ekonomi dan rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi dari golongan Cina terhadap bangsa Indonesia. Semua itu hanyalah merupakan ungkapan emosional masyarakat pribumi terhadap suatu golongan yang selama ini telah dinilai kurang mampu membaurkan diri dan mengancam eksistensinya, khususnya dalam dunia ekonomi.

7. Kabinet Djuanda/Karya (9 April 1957-5 Juli 1959)


Pada permasalahan Kabinet Djuanda ini, akan dibahas mengenai mengapa adanya Deklarasi Djuanda yang ada keterkaitannya dengan teritorial, dan akan membahas mengenai munculnya PRRI dan Permesta.




Deklarasi Djuanda diadakan untuk menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tetapi waktu itu belum diakui secara internasional.





Awal Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan PERMESTA sebenarnya sudah muncul pada saat menjelang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 dan pada saat bersamaan Divisi Banteng diciutkan sehingga menjadi kecil dan hanya menyisakan satu brigade. Brigade ini pun akhirnya diperkecil lagi menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Hal ini memunculkan perasaan kecewa dan terhina pada para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng yang telah berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya bagi kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu juga, terjadi ketidakpuasan dari beberapa daerah yang berada di wilayah Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah. 

Ketidakpuasan tersebut akhirnya memicu terbentuknya dewan militer daerah yaitu Dewan Banteng yang berada di daerah Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956. Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng) bersama dengan ratusan perwira aktif dan para pensiunan yang berasal dari Komando Divisi IX Banteng yang telah dibubarkan tersebut. Letnan Kolonel Ahmad Husein yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB diangkat menjadi ketua Dewan Banteng. Kegiatan ini diketahui oleh KASAD dan karena Dewan Banteng ini bertendensi politik, maka KASAD melarang perwira‑perwira AD untuk ikut dalam dewan tersebut. Akibat larangan tersebut, Dewan Banteng justru memberikan tanggapan dengan mengambil alih pemerintahan Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muloharjo, dengan alasan Ruslan Muloharjo tidak mampu melaksanakan pembangunan secara maksimal.

Selain Dewan Banteng yang bertempat di daerah Sumatra Barat, di Medan terdapat juga Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I, pada tanggal 22 Desember 1956. Dan juga di Sumatra Selatan terbentuknya Dewan Garuda yang dipimpin oleh Letkol Barlian.

Selain itu pemberontakan ini juga disebabkan karena ada pengaruh dari PKI terhadap pemerintah pusat dan hal ini menimbulkan terjadinya kekecewaan pada daerah tertentu. Keadaan tersebut diperparah dengan pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berada di dalam pemerintah pusat, tidak terkecuali Presiden Soekarno.

Selanjutnya, PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini terjadi pada saat Presiden Soekarno sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo, Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958, Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan berupa “Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno supaya “bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional, menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara lain :
  1. Mendesak kabinet Djuanda supaya mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
  2. Mendesak pejabat presiden, Mr. Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut Zaken Kabinet Nasional yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).
  3. Mendesak kabinet baru tersebut diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga pemilihan umum yang akan datang.
  4. Mendesak Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi.
  5. Jika tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka Dewan Perjuangan akan mengambil kebijakan sendiri.
Setelah tuntutannya di tolak, PRRI membentuk sebuah Pemerintahan dengan anggota kabinetnya. Pada saat pembangunan Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI memperoleh dukungan dari PERMESTA dan rakyat setempat.

Pada tanggal 2 Maret 1957, di Makasar yang berada di wilayah timur Negara Indonesia terjadi sebuah acara proklamasi Piagam Perjuangan Republik Indonesia (PERMESTA) yang diproklamasikan oleh Panglima TT VII, Letkol Ventje Sumual. Pada hari berikutnya, PERMESTA mendukung kelompok PRRI dan pada akhirnya kedua kelompok itu bersatu sehingga gerakan kedua kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA. Tokoh-tokoh PERMESTA terdiri dari beberapa pasukan militer yang diantaranya adalah Letnan Kolonel D.J Samba, Letnan Kolonel Vantje Sumual, Letnan Kolonel saleh Lahade, Mayor Runturambi, dan Mayor Gerungan.


Oke, sekian tentang penjelasan-penjelasan kondisi Indonesia di masa liberal dari saya. See you guys on the next post!